.

Status YM

Rabu, 10 Oktober 2012

Jalan terjal menuju Netralitas Birokrasi di Indonesia

Bukan hal yang baru akan teriakan tentang keharusan aparatur birokrasi yang netral, jauh dari intrik dan intervensi Politik. Walaupun pada kenyataannya, latar belakang pembentukan suatu undang-undang yang mengatur mengenai manajemen PNS baik UU 8/1974 jo.UU 43/1999 tidak mengemukakan secara tersirat dalam latar belakang penyusunan UU tersebut akan perlunya aparatur pemerintahan yang bebas dari intervensi Politik yang kemudian diatur dalam PP 37/2004 tentang Larangan PNS menjadi anggota Parpol.

RUU ASN yang konon kini masih dalam penyusunan sebagai tindak lanjut dari hak inisiatif dari DPR mengemukakan dengan jelas tentang perlunya dibangun aparatur sipil negara yang bebas dari intervensi politik.


Berbicara mengenai intervensi politik dalam tatanan kepemerintahan, bukan hal yang baru akan sebuah pemikiran bahwa netralitas birokrasi diperlukan agar dapat memberikan pelayanan secara adil,tidak memihak pada satu kepentingan suatu kelompok masyarakat melainkan melayani seluruh masyarakat di negeri ini sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi yang mana kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pemilu pertama yang dilaksanakan 57 tahun silam, melahirkan partai-partai besar seperti Masyumi,PNI,PKI dan NU yang pada saat itu negeri ini menganut sistem pemerintahan parlementer, merupakan awal dimana struktur birokrasi menjadi 'bunglon', menyesuaikan dengan warna partai yang berkuasa. Kondisi ini pun masih berlangsung,dimana suatu departemen/non departemen tertentu yang dipimpin oleh seorang menteri dari partai politik menjadikan departemennya sebagai basis dukungan dan pengaruh bagi partainya walaupun tentu dengan cara-cara sekarang yang jauh berbeda dari puluhan tahun lalu.

Pada era orde baru, tuntutan akan netralitas Pegawai Negeri Sipil agar jauh dari pengaruh partai politik pun dilaksanakan, dimana PNS saat itu dilarang untuk masuk partai politik. Sistem pemerintahan yang berubah dari parlementer menjadi presidensial tidak lantas mengubah netralitas birokrasi ke arah yang lebih baik. Justru pada era ini, kecenderungan PNS diarahkan pada suatu kekuatan politik tertentu pemenang pemilu terjadi. PNS saat itu dilarang menjadi anggota partai politik,akan tetapi menjadi anggota Golongan Karya (Golkar) yang bukan partai politik tetapi terjun dalam politik praktis.

Mencermati kondisi birokrasi selama negeri ini berdiri ternyata Netralitas Birokrasi dalam mengedepankan Tata Kepemerintahan yang demokratis belum pernah terwujud.
Berbagai lembaga pemerintah yang mengelola manajemen PNS mulai dari Kantor Urusan Pegawai (KUP) Tahun 1948 yang kemudian menjadi BAKN tahun 1972, LAN, Panitia Organisasi Kementrian (PANOK),dll serta peraturan perundangan mengenai manajemen PNS seperti yang telah disampaikan sebelumnya ternyata belum mampu menjadikan Birokrasi yang netral dari intervensi politik dan beragam aturan yang ada menjadi tidak efektif selama adanya upaya untuk mengintervensi dari partai politik yang berkuasa dalam suatu struktur birokrasi tersebut.

Jadi apabila hal ini terus berlangsung, pelayanan pemerintah kepada masyarakat akan terganggu, pelayanan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat tanpa terkotak-kotak oleh warna kepentingan dan kekuatan politik tidak akan terwujud. Tata Kepemerintahan yang baik dan demokratis (Democratic and Good Governance) hanya sebuah peristilahan akan sebuah mimpi suatu Birokrasi yang baik. Sehingga tidak salah jika penulis membuat peristilahan baru akan kondisi Birokrasi dinegeri ini bukan berasal dari kata 'Bureaucracy' melainkan 'BureauCrazy'.

Salam Pamong....!!!
Bhineka Nara Eka Bhakti

Powered by Telkomsel BlackBerry®







0 Komentar: